v ALIRAN EKSISTENSIALISME
HAKIKAT EKSISTENSIALISME
Kata eksistensi berasal dari kata latin “existere”, dari “ex”yang
berarti keluar dan “sitere” yang berarti membuat berdiri. Artinya
apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Konsep ini
menekankan bahwa sesuatu itu ada. Istilah “eksistensi” itu hanya dapat
diterapkan pada manusia, atau lebih tepat lagi pada individu
konkret. Menurut eksistensialisme, hakekat manusia terletak dalam
eksistensi dan aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan eksistensi dari
dirinya dan hasil aktivitas yang dilakukan merupakan cermin hakekat dirinya. Jadi,
dari pengertian di atas pemakalah mendefinisikan eksistensialisme ialah manusia
dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan keberadaannya ditentukan
oleh akunya.
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan protes terhadap diantaranya. Pertama, pandangan
yang spekulatif. Contoh aliran idealisme yang salah satu pemikirnya ialah
Georg Wilhelm friedrich Hegel yang meremehkan eksistensi yang konkret karena
Hegel mengutamakan idea yang sifatnya umum. Hegel mengabstraksi segala
sesuatu menjadi sebuah sistem abstrak yang meremehkan manusia konkret atau
individu yang merupakan kenyataan adalah idea abstrak atau roh, dan bukan
pengalaman manusia individual. Dalam sistem abstrak itu bahkan kesadaran
manusia konkret hanyalah sebuah momen dalam dealetika roh. Bukan manusia yang
sadar diri, melainkan roh menyadari dirinya dalam manusia konkret itu. Dalam
arti ini, manusia konkret hanyalah alat bagi roh itu. Oleh karena itu juga,
Hegel memandang tinggi idea-idea yang semakin bersifat kolektif, sebab semakin
objektif sebuah idea semakin benar dan semakin real-lah idea itu. Yang makin
benar adalah kita, ras, zaman kita dan abad kita bukan aku atau pikiran ku.
Sedangkan menurut filsuf eksistensialisme Soren Aabye Kierkegaard keberatan
dengan sistem Hegel itu, Ia menyatakan Hegel sudah mereduksi manusia menjadi
kawanan yang anonim. Kemampuan subjektif manusia untuk mengambil keputusan yang
sangat pribadi dan berkomitmen dianggap tidak autentik dalam sistem itu, sebab
yang real itu, bukan individu melainkan roh yang menjadi semakin sadar diri
melalui individu itu. Dan menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual.
Kedua, pandangan aliran materialisme, aliran ini
mendefenisikan eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada
manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu. Dalam pandangan
materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia itu pada akhirnya
adalah sepertinya halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak
mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti batu dan kayu. Akan tetapi
materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada
dasarnya, pada instansi yang terakhir, manusia hanyalah sesuatu yang material;
dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia
lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya
manusia sama saja dengan sapi, pohon, dan batu. Dilihat dari segi keberadaannya
juga sama. Nah, di sinilah bagian ajaran materialisme itu dihantam oleh
eksistensialisme. Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan
benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan
tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami
beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia
menghadapi dunia, menghadapi dan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia
mengerti pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa
hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini ? artinya ialah bahwa manusia
adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang
disadarinya itu disebut objek. Dari kedua pandangan di atas, hal itulah yang
merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme.
Dari kedua pandangan di atas menurut analisis pemakalah ialah pertama, idealisme
Hegel pada intinya mengatakan bahwa yang konkret itu ialah ide, sedangkan benda
yang tampak dalam hal ini manusia ialah penjelmaan dari idea itu sendiri, bukan
yang konkret. Dan “aku umum” yang di ungkapkan oleh Hegel ialah apa yang
menurut khalayak benar maka benarlah sesuatu itu dalam arti kata berdasarkan
sesuatu yang umum yang dalam hal ini bersifat kolektif. Sedangkan menurut
eksistensialisme keberadaan manusia itulah yang konkret dan idea yang dikatakan
Hegel merupakan hal yang tidak logis, nyata dan ilmiah. Serta jika berdasarkan
aku umum maka ada salah satu individu yang tidak bebas dalam menunjukkan
eksistensinya. Oleh karena itu, agar individu ini bebas maka aku individulah (self
individual)yang menetapkan segala sesuatu bukan berdasarkan keumuman.Kedua, pandangan
materialisme yang menyatakan bahwa manusia itu materi, eksistensinya sama
dengan materi, maka hal ini di tantang oleh eksistensialisme, menurut
eksistensialisme eksistensi manusia itu tidak sama dengan materi,
salah satu cermin dari eksistensi manusia ialah ia mampu mengolah materi dan
materi merupakan penunjang dari eksistensi manusia.
Dengan demikian, eksistensialisme pada hakekatnya adalah aliran filsafat
yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan
hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Aliran eksistensialisme sebagai
suatu penolakan terhadap suatu pemikiran yang abstrak. Yang menjadi ukuran
dalam sikap dan perbuatannya ialah kebebasan untuk freedom to do.
Pada fase awal, Danish soren Kierkegaard (1813-1855) yang disebut sebagai
tokoh pembuka tabir gerakan eksistensialisme. Ia masih mewarnai corak
pemikirannya denga teologi. Nuasa teologis ini tampak ketika ia mengatakan
bahwa setiap pribadi membawa kepenuhan eksistensi manusiawinya sendiri.
Kepenuhan eksistensi ini terwujud paa keputusan bebas manusia. Disinilah letak
kebebasan manusia. Di dalam kebebasannya kebebasannya, manusia memiliki
kemerdekaan dalam menetukan ke mana dirinya akan melangkah dan melalui iman
yang dimiliki manusia dapat memantapkan dirinya dalam hadirat Tuhan. Kierkegaard
mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi
manusia yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi
dirinya. Pernyataan ini kemudian dikembangkan, bahwa eksistensi manusia itu
bukanlah statis tapi senantiasa menjadi. Artinya manusia itu selalu bergerak
dari kemungkinan kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan maka gerak
perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi
manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka
perbuatan manusia. Bagi Kierkegaard bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menetukan bagi hidupnya, dan tetap bertanggung jawab atas
hidupnya dan keputusan-keputusannya tersebut. Konsekuensinya,
jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat maka kita
tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Dari hal ini, pemakalah
menganalisis bahwa manusia harus bergerak menurut kebebasannya; apa yang
menurutnya dapat menimbulkan kemerdekaan bagi dirinya maka itulah yang harus
dijalankannya dengan tidak melihat hal-hal yang dapat membuatnya terkekang
dalam melaksanakan perbuatan (norma-norma umum), dan bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukannya. Jika manusia melaksanakan sesuatu akan tetapi ia
terkekang dengan perbuatan itu maka itu belum dapat dikatakan manusia itu
bereksistensi, karena belum menurut kebebasannya. Dan iman yang dimiliki
manusia akan senantiasa menghadirkannya pada kehadirat Tuhan.
Namun, ketika pada periode selanjutnya, muncul tokoh yang bernama Jean Paul
Sartre (1905-1981) dan Neitzhche (1844-1900), aliran eksistensialisme ini
tampaknya berkembang menjadi radikal dan ekstrim. Di bawah ini pemakalah
memaparkan kedua pemikiran filsuf eksistensialisme tersebut:
Pertama, Sartre dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia
tidak mempunyai sandaran keagamaan. Manusia harus mengandalkan kekuatan yang
ada dalam dirinya, lebih lanjut Sartre mengatakan manusia itu memiliki
kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kebebasan
pada manusia tidak dapat dikurangi atau ditiadakan karena realitas manusia pada
dasarnya adalah bebas sepenuhnya.
Kedua, Neitzhche. Pandangan ekstrem dari Neitzsche ini
berawal dari keyakinannya bahwa Tuhan telah mati, dengan kematian Tuhan
terbukalah horizon seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang
penuh. Tak ada lagi larangan dan perintah. Neitzsche menyambut datangnya zaman
itu sebagai zaman kretivitas dan kemerdekaan, setiap orang harus setia kepada
dunia ini, dan tidak usah percaya akan adanya harapan-harapan di dunia seberang
sana. Atas keyakinan ini pula Neitzsche menganggap remeh dan benci pada
sekelompok manusia yang berperan hanya ikut arus dan hanya mengikuti pola-pola
umum yang mengatur perilaku mereka. Selanjutnya Neitzsche menjelaskan bahwa
kemampuan manusia itu tidak mendapat bantuan dari siapapun, tidak juga dari
kekuatan yang disebut Tuhan. Bahkan menurut Neitzsche dorongan nafsu bagi
manusia sangat penting, ia mengatakan biarkan nafsu seseorang itu berkembang
leluasa. Antara nafsu dan kehidupan rohani berdampingan tetapi saling
bertentangan. Dorongan nafsu itu berada di lapisan bawah sementara kehidupan
rohani berada di lapisan atas. Kehidupan rohani dapat mengarahkan lapisan
bawah. Pencerminan lapisan atas itu nampak dalam ajaran agama, norma dan moral.
Penampilan lapisan bawah dapat tenggelam dalam penampilan lapisan atas tetapi
Neitzsche mengatakan justru pengungkapan nafsu itu tidak lagi sempurna. Ia
menambahkan biarkan lapisan bawah itu berkembang sempurna.
Dalam kaitan dengan konsep nafsu di atas, Neitzche memberikan konsep
moralitas. Orang yang sistem pikiran terkendali, tertindas, ketakutan akan
perubahan, pasif menerima otoritas dan tradisi merupakan orang yang
bermoralitas budak. Moralitas yang dibenci filsuf ini adalah moralitas yang
mengatur manusia dalam kriteria baik dan buruk. Menurut Neitzsche
pribadi yang ideal adalah orang yang bermoralitas tuan. Individu ini nampak
memiliki pemahaman diri dari dalam. Dunia ini tidak akan berarti jika di huni
manusia yang bermoral budak. Dan Neitzsche mengatakan bahwa umat manusia sudah
menderita mental budak ini. Ajaran agama, moral, norma tentang kerendahhatian,
belaskasih, kesalehan, rela menderita dan sebagainya sudah memasuki masyarakat
bagi Neitzsche itu adalah ajaran yang menyebabkan seseorang itu bersikap
pengecut dan memuakkan karena berlawanan dengan keunggulan manusia. Seseorang
itu hendaknya hidup berdasarkan nilai-nilai yang muncul dari dirinya sendiri.
Dengan demikian ia menjadi tuan atas ciptaannya sendiri.
Dari untaian tentang pemikiran Sartre dan Neitzsche di atas analisis
pemakalah ialah pemikiran Sartre dan Neitzsche menafikan keagamaan, hal ini
menunjukkan bahwa mereka merupakan filsuf yang atheis dan
kebebasan menurut mereka ialah hal yang segala-galanya, sebab dengan kebebasan
manusia mampu berkreatifitas bahkan jika dilakukan pengekangan terhadap nafsu
maka itu akan membuat individu itu tidak bebas dan menyiksa dirinya sendiri,
dan setiap nilai yang dipilih tergantung pada arah nafsu hidup tadi. Dan dari
uraian tentang pemikiran Neitzsche di atas dapat diungkapkan bahwa suatu
keyakinan bukan tergantung pada benar atau salahnya tetapi lebih disebabkan
apakah mengakui kehidupan atau tidak, artinya keyakinan itu berarti jika mampu
memberikan perasaan-perasaan kekuatan, daya dan kebebasan bagi setiap orang.
PRINSIP-PRINSIP EKSISTENSIALISME
Ada beberapa prinsip
dari aliran eksistensialisme, yakni sebagai berikut:
A. Aliran ini tidak mementingkan metafisika (Tuhan). Aliran ini memandang
bahwa manusia tidak diarahkan. Manusia yang menciptakan kehidupannya sendiri
dan oleh sebab itu manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan
yang dibuat. Aliran ini memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan dan
penanggung jawabannya.
B. Pengetahuan lebih merupakan suatu keadaan dan kecenderungan seseorang.
Karena manusia tidak tunduk terhadap apa yang ada di luar dirinya, maka
nilai-nilai tidak dicari dari luar diri melainkan dicari dalam diri manusia itu
sendiri. Hal ini disebabkan karena nilai itu hidup dalam dirinya. Oleh karena
itu, apa yang disebut baik atau buruk tergantung atas keyakinan pribadinya.
C. Aliran ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya dan
individu hanya mengenal dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dengan
kehidupan.
Menurut analisis pemakalah prinsip-prinsip aliran eksistensialisme ini
adalah mengutamakan kebebasan dan tidak mengikuti norma-norma yang dapat
mengekang kebebasan, norma-norma yang dijadikan patokan dalam alliran ini ialah
kehendak diri itu sendiri yang dapat memberikan kebebasan dalam perbuatan.
serta bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilaksanakan.
·
Eksistensialisme dalam Pendidikan
ü
Tujuan
Tujuan
pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan
semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan
dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam
menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku
secara umum.
ü
Kurikulum
Pelajaran
sekolah hanyalah alat untuk realisasi subjektivitas. Tahap pembelajaran penting
yang tidak ditemukan dalam struktur pengetahuan atau dalam organisasi disiplin
belajar, melainkan di apropriasi siswa dari kesediaan subjek-nya untuk memilih
dan memberi makna pada subjek tersebut. Dalam situasi “eksistensialis”
kurikulum, siswa adalah aktor yang memberi makna pada subjek yang ia merampas,
karena ia menggabungkan ke dalam keberadaan sendiri dan menafsirkannya sesuai
dengan proyek sendiri. Seperti Morris mengatakan, “Apapun pengalaman di sekolah
yang paling mungkin untuk membangkitkan cara pribadi individu dalam memandang
hidup akan diangkat ke posisi pertama dalam segala sesuatu yang suatu hari
nanti bisa disebut sekolah eksistensialis.
Kurikulum,
sebenarnya script yang siswa gunakan sebagai kendaraan interpretasi, mengandung
baik kognitif dan elemen normatif. Tubuh faktual, deskriptif, dan pengetahuan
ilmiah dari dimensi kognitif merupakan kodrat dari urutan fenomenologis.
Normatif atau dimensi sikap terdiri dari daerah-daerah kurikuler yang terutama
etis. Studi humanistik seperti sejarah, seni, sastra, filsafat, dan agama
merupakan sumber sangat kaya nilai-nilai etika.
Seni,
kajian yang dirancang untuk menumbuhkan pengalaman estetis, termasuk bentuk-bentuk
seperti musik, drama, tari, menulis kreatif, lukisan, dan film. Tujuan
pendidikan estetika, menurut eksistensialis tersebut, bukan untuk meniru gaya
artis model yang dipilih, meskipun ini mungkin dipelajari, melainkan untuk
merangsang ekspresi estetika. Dalam dimensi estetika pendidikan, peran guru
adalah untuk membangkitkan dan merangsang rasa pelajar dan keinginan untuk
ekspresi estetika. Meskipun tidak mengetahui apa yang pelajar akan ciptakan,
guru menyediakan berbagai media kreatif sehingga pelajar akan memiliki bahan
baku untuk membuat objek seni sendiri. Pelajar menggunakan berbagai media untuk
menggambarkan dunia saat ia memandangnya dalam kesadaran sendiri dan
menghasilkan karya seni yang berasal dari pusat pengalaman pribadinya.
Sastra
dan humaniora akan menempati area utama dalam kurikulum eksistensialis. Sastra
berguna dan relevan untuk membangkitkan pelajar pentingnya pembuatan pilihan,
melainkan mengungkapkan berbagai strategi untuk membuat pilihan yang telah
digunakan dalam literatur untuk menggambarkan keprihatinan dasar manusia.
Dengan menggunakan literatur, drama, dan film, pelajar menempatkan kapasitasnya
merasa di pembuangan penulis. Keterlibatan perwakilan para pelajar dalam
pertanyaan-pertanyaan dasar manusia cinta, kematian, penderitaan, rasa
bersalah, dan kebebasan merupakan sarana yang sangat baik untuk menggambarkan
kondisi manusia dan untuk menemukan makna pribadi dalam dunia tampaknya acuh
tak acuh.
Seperti
sastra dan humaniora lainnya, sejarah adalah kendaraan kuat untuk meneliti
bagaimana pria di masa lalu telah menghadapi dan menjawab keprihatinan manusia
yang berulang. Studi sejarah, seperti yang dilihat oleh eksistensialis, adalah
tidak begitu banyak masalah membangun hubungan sebab-akibat atau memeriksa
asal-usul dan perkembangan peradaban tertentu. Memang, tidak ada generalisasi
universal atau abadi dapat disimpulkan dari penelitian sejarah. Penggunaan
sejarah adalah di masa lalu menerangi manusia dan dalam menghadirkan pria
kontemporer dengan hipotesis alternatif tentang bagaimana kehidupan bisa hidup
di masa sekarang.
ü
Peran Pendidik
Meskipun
pendidik eksistensialis dapat memilih untuk menggunakan berbagai metode
pendidikan. Dialog Sokrates merupakan metode yang tepat bagi mereka yang
mengikuti perspektif eksistensialis dalam pendidikan. Dialog mempertanyakan
siswa sehingga ia menjadi sadar akan kondisi hidupnya. Memang, jenis terbaik
dari pertanyaan akan bisa dijawab hanya dalam subjektivitas siswa sendiri.
Dalam
metodologi eksistensialis, guru merangsang “intensitas kesadaran” si pelajar
dengan mendorong pencarian kebenaran pribadi dengan mengajukan pertanyaan makna
kekhawatiran hidup. Ini adalah tugas guru untuk memberikan iklim dan situasi
untuk ekspresi subjektivitas siswa. Hanya pelajar yang bisa berhadapan dengan
tanggung jawabnya untuk definisi -diri. Penciptaan “intensitas kesadaran”
adalah tanggung jawab sendiri peserta didik juga guru. Seperti kesadaran
melibatkan rasa yang secara pribadi terlibat dalam dimensi etis dan estetis
dari eksistensi.
Menurut
pemikiran eksistensialisme peranan pendidik sebagai pembimbing dan mengarahkan
siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif melalui
pertanyaan-pertanyaan. Pendidik hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar
betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran yang diajarkan. Diskusi
merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa memiliki hak
untuk menolak interpretasi pendidik tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu
forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan pendidik
membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Ø Secara spesifik berikut ini akan digambarkan
peranan pendidik:
1. Menemukan pembawaan pada anak didiknya dengan
jalan observasi, wawancara, pergaulan, angket dan sebagainya.
2. Berupaya menolong anak didik dalam
perkembangannya. Agar pembawaan buruk tidak dapat berkembang dengan subur
mendekati kemungkinannya.
3. Menyajikan dan mencarikan jalan yang terbaik
dan menunjukkan perkembangan yang tepat.
4. Setiap waktu mengadakan evaluasi untuk
mengetahui apakah perkembangan anak didik dalam usaha mencapai pendidikan sudah
berjalan seperti yang diharapkan.
5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan pada anak
didik pada waktu mereka menghadapi kesulitan dengan cara yang sesuai dengan
kemampuan anak didik dan tujuan yang dicapai.
6. Dalam menjalankan tugasnya, pendidik wajib
selalu ingat bahwa anak sendirilah yang berkembang berdasarkan bakat yang ada
padanya.
7. Pendidik senantiasa mengadakan penilaian atas
diri sendiri untuk mengetahui apakah hal-hal yang tertentu dalam diri
pribadinya yang harus mendapatkan perbaikan.
8. Pendidik perlu memilih metode atau teknik
penyajian yang tidak saja disesuaikan dengan bahan atau isi pendidikan yang
akan disampaikan namun disesuaikan dengan kondisi anak didiknya.
·
Kelebihan dan Kekurangan
Eksistensialisme
Kelebihan:
1. Mengerti akan semua realitas.
2. Mengetahui pengetahuan tentang manusia.
Kekurangan :
1. Mengabaikan Perintah Tuhan.
2. Menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia.
v ALIRAN PROGRESIVISME
Progresivisme
adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini
berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di
masa mendatang. Pendidikan harus berpusat pada anak bukannya memfokuskan pada
guru atau bidang muatan.
Progresivisme
mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia
itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi
masalah-masalah yang bersifat menekan mengancam adanya manusia itu sendiri ( Barnadib,
1994:28 ). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen
progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan
dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat,
antropologi, psikologi, dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat
tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal;menyala. Tidak pernah sampai
pada yang paling eksterm, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai
berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu
dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk
mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik
adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresivisme merupkan
pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada
kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata”,
dan juga pengalaman teman sebaya.
·
Tokoh-tokoh Aliran Progresivisme
ü William
James ( 1842-1910 )
James berkeyakinan bahwa otak atau
pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi
biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau
fikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu
pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi
teologis, dan menempatkannya da atas dasar ilmu prilaku.
ü John Dewey
( 1859-1952 )
Teori Dewey tentang sekolah adalah
progresivisme yang lebih menekankan kepada anak didik dan minatnya dari pada
mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Cild Centered Curiculum”, dan “Cild
Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa
depan yang belum jelas.
ü Hans
Vaihinger ( 1852-1933 )
Hans Vaihinger menurutnya tahu itu
hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan objeknya mungkin dibuktikan,
satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya untuk mempengaruhi
kejadian-kejadian didunia.
·
Ciri-ciri Utama Progresivisme
a)
Pendidikan dianggap mampu merubah dalam arti membina
kebudayaan baru yang dapat menyelamatkan manusia bagi masa depan.
b)
Percaya bahwa manusia sebagai subyek yang memiliki
kemampuan untuk menghadapi dunia dengan skill dan kekuatan mandiri.
c)
Progress yang menjadi inti perhatiannya, maka ilmu
pengetahuan yang dapat menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian-bagian
utama dari kebudayaan, yaitu ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
d)
Progresivisme adalah satu filsafat transisi antara dua
konfigurasi kebudayaan yang besar. Progresivisme adalah rasionalisasi mayor
daripada suatu kebudayaan yakni (1) perubahan yang cepat dari pola-pola
kebudayaan Barat yang diwarisi dan dicapai dari masa ke masa, (2) perubahan yang
cepat menuju pola-pola kebudayaan baru yang sedang dalam proses pembinaan untuk
masa depan.
e)
Progresivisme sebagai ajaran filsafat merupakan watak
yang dapat digolongkan ke (1) negative and diagnostic yakni
bersikap anti terhadap otoritarialisme dan absolutisme dalam segala bentuk,
seperti agama, moral, sosial, politik dan ilmu pengetahuan, (2) positive
and remedial yakni suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan
manusia sebagai subyek yang memiliki potensi alamiah, terutama
kekuatan-kekuatan self-regenarative (diperbaharui sendiri)
untuk menghadapi dan mengatasi semua problem hidup.
·
PANDANGAN
PROGRESIVISME TENTANG PENDIDIKAN
Progresivisme dalam pendidikan adalan bagian
dari gerakan revormasi umum social-politik yang menandai kehidupan Amerika. Progresivisme
sebagai sebuah teori muncul sebagai bentuk reaksi terhadap pendidikan
tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran, belajar mental
(kejiwaan), dan suasana klasik peradaban barat. Pada dasarnya teori ini
menekankan beberapa prinsip. Adapun prinsipnya yaitu:
§
Proses pendidikan
berawal dan berakhir pada anak.
§
Subjek didik
adalah aktif, bukan pasif.
§
Perfan guru hanya
sebagai fasilitator, pembimbing, ataupengarah.
§
Sekolah adalah
masyarakat kecil dari masyarakat besar.
§
Sekolah harus kooperatif
dan demokratif
§
Aktivitas lebih
focus pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaran materi kajian.
·
Pandangan
Progresivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Anak didik
diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat
dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya. Tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu aliran filsafat progresivisme tidak
menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan
tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira
menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik
maupun psikis anak didik.
Filsafat
progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan
terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya.
Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang
memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum. Kurikulum
dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia
dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.
Progresivisme
tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan
harus terintegrasi dalam unit. Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi
dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik mauopun psikis dan
dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
·
Aliran Pendidikan Progresivisme
ajarannya tentang kebebasan politik.
Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada didalam manusia karena
kodrat yang baik dari para manusia. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi
akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi.
Hegel mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada
dalam keadaan bergerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada
hentinya.
Dalam abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak
terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan
pada Progresivisme karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan
terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce
mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berfikir “pikiran itu
hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu bekerja yaitu memberikan
pengalaman (hasil) baginya”.
Fungsi berfikir adalah membiasakan manusia untuk berbuat .
perasaan dan gerak jasmaniah adalah manifestasi dari aktifitas manusia dan
keduanya itu tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berfikir.[8]
Bagaimana Keyakinan Aliran Progresivisme Tentang Pendidikan?
Dasar filosofis dari aliran
progresivisme adalah Realisme Spiritualistik dan Humanisme Baru. Realisme spiritualistik
berkeyakinan bahwa gerakan pendidikan progresif bersumber dari prinsip-prinsip
spiritualistik dan kreatif dari Froebel dan Montessori serta ilmu baru tentang
perkembangan anak. Sedangkan Humanisme Baru menekankan pada penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia sebagai individu. Dengan demikian
orientasinya individualistik.
Ø Tujuan Pendidikan
Tujuan keseluruhan pendidikan adalah
melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai
kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap
anak.[10] Agar dapat bekerja siswa diharapkan memiliki keterampilan, alat dan
pengalaman sosial, dan memiliki pengalaman problem solving.
Ø Kurikulum Pendidikan
Kalangan progresif menempatkan subjek
didik pada titik sumbu sekolah (child-centered). Mereka lalu berupaya
mengembangkan kurikulum dan metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan,
kepentingan, dan inisiatif subjek didik. Jadi, ketertarikan anak adalah titik
tolak bagi pengalaman belajar. Imam Barnadib menyatakan bahwa kurikulum
progresivisme adalah kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi, sehingga yang
cocok adalah kurikulum yang “berpusat pada pengalaman” Sains
sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam pengalaman-pengalaman
siswa, dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan proyek. Disini guru
menggunakan ketertarikan alamiah anak untuk membantunya belajar berbagai
keterampilan yang akan mendukung anak menemukan kebutuhan dan keinginan
terbarunya. Akhirnya, ini akan membantu anak (subjek didik) mengembangkan keterampilan-keterampilan
pemecahan masalah dan membangun ‘gudang’ kognitif informasi
yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sosial.
Ø Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya
dipergunakan oleh aliran progresivisme diantaranya adalah;
a)
Metode Pendidikan
Aktif, Pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas
yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak
untuk mengembangkan bakat dan minatnya;
b)
Metode Memonitor
Kegiatan Belajar, Mengikuti proses kegiatan anak belajar sendiri, sambil
memberikan bantuan-bantuan apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar
berlangsung kegiatan belajar tersebut;
c)
Metode Penelitian
Ilmiah, Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian ilmiah
yang tertuju pada penyusunan konsep;
d)
Pemerintahan
Pelajar, Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelejar dalam
kehidupan sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah;
e)
Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga, Pendidikan
Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam
rangka menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi anak untuk
mengekspresikan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang diperlukan anak;
f)
Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan
Pendidikan, Sekolah tidak hanya tempat untuk belajar, tetapi berperanan pula
sebagai laboratoriun dan pengembangan gagasan baru pendidikan.
Ø Pelajar
Kaum progresif menganggap
subjek-subjek didik adalah aktif, bukan pasif, sekolah adalah dunia kecil
(miniatur) masyarakat besar, aktifitas ruang kelas difokuskan pada praktik
pemecahan masalah, serta atmosfer sekolah diarahkan pada situasi yang
kooperatif dan demokratis. Mereka menganut prinsip pendidikan perpusat pada anak
(child-centered). Mereka menganggap bahwa anak itu unik. Anak adalah anak yang
sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak mempunyai alur pemikiran sendiri,
mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan-harapan dan kecemasan sendiri
yang berbeda dengan orang dewasa.[15]
Ø Pengajar
Guru dalam melakukan tugasnya
mempunyai peranan sebagai;
a)
Fasilitator,
orang yang menyediakan diri untuk memberikna jalan kelancaran proses belajar
sendiri siswa;
b)
Motivator, orang
yang mampu membangkitkan minat siswa untuk terus giat belajar sendiri;
c)
Konselor, orang
yang membantu siswa menemukan dan mengatasi sendiri masalah-masalah yang
dihadapi oleh setiap siswa. Dengan demikian guru perlu mempunyai pemahaman yang
baik tentang karakteristik siswa, dan teknik-teknik memimpin perkembangan
siswa, serta kecintaan pada anak agar dapat menjalankan peranannya dengan baik.
Progresivisme
pengikut Dewey (Sadulloh.2003), mendasarkan pada asumsi berikut:
1.
Minat-minat peserta didik sebagai dasar
menentukan muatan kurikulum, bukan disiplin ilmu atau akademik.
2.
Pengajaran efektif adalah apabila memperlukan
peserta didik sebagai keseluruhan dan minat-minat serta kebutuhan-kebutuhannya
dihubungkan dengan bidang kognitif, efektif, dan psikomotor.
3.
Pembelajaran harus aktif, guru menyediakan
kemungkinan agar peserta didik memiliki pengalaman melalui belajar dengan
berbuat/melakukan.
4.
Pendidikan bertujuan untuk membina peserta
didik berpikir rasional sehingga menjadi manusia yang cerdas yang berkontribusi
pada masyarakat.
5.
Peserta didik mempelajari nilai-nilai personal
dan sosial di sekolah.
6.
Individu berada pada suatu keadaan yang selalu
berubah secara terus menerus, dan pendidikan merupakan wahana yang mungkin masa
depan yang lebih baik dari pada masa sebelumnya.
·
Kelebihan filsafat progresivisme
1. Nilai-nilai
yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan.
2. Toleran
dan terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif,
inovatif dan reformatif, aktif serta dinamis.
3. Anak
didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna
mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya
4. Menjadikan
anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan
menjawab tantangan zaman peradaban baru
·
Kelemahan filsafat progresivisme
1. Progresivisme
terlampau menekankan pada pendidikan individu
2. Kelas
sekolah progresif artifisial / dibuat-buat dan tidak wajar
3. Progresivisme
bergantung pada minat dan spontan
4. Siswa
merencanakan sesuatu sendiri dan mereka tidak bertanggung jawab terhadap hasil
dari tugas-tugas yang dikerjakan
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam.
Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1997
M. Dagun, Filsafat
Eksistensialisme, Jakarta : Rineka Cipta. 1990, cet. ke-1.
TIM Pengajar UNIMED, Filsafat Pendidikan,2011.
TIM Pengajar UNIMED, Filsafat Pendidikan,2011.
Iman, Muis Sad, Pendidikan
Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme Jon
Dewey, Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004
http://www.geocities.com/athens/parthenon/4926/rencana/tunjang.htm
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/jurnal3.html
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/jurnal3.html