Rabu, 29 Oktober 2014

Filsafat (Aliran Eksistensialisme)

v  ALIRAN EKSISTENSIALISME

HAKIKAT EKSISTENSIALISME
Kata eksistensi berasal dari kata latin “existere”, dari “ex”yang berarti keluar dan “sitere” yang berarti membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Istilah “eksistensi” itu hanya dapat diterapkan pada manusia, atau lebih tepat lagi pada individu konkret. Menurut eksistensialisme, hakekat manusia terletak dalam eksistensi dan aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan eksistensi dari dirinya dan hasil aktivitas yang dilakukan merupakan cermin hakekat dirinya. Jadi, dari pengertian di atas pemakalah mendefinisikan eksistensialisme ialah manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan keberadaannya ditentukan oleh akunya.
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan protes terhadap diantaranya. Pertama, pandangan yang spekulatif. Contoh aliran idealisme yang salah satu pemikirnya ialah Georg Wilhelm friedrich Hegel yang meremehkan eksistensi yang konkret karena Hegel mengutamakan idea yang sifatnya umum. Hegel mengabstraksi segala sesuatu menjadi sebuah sistem abstrak yang meremehkan manusia konkret atau individu yang merupakan kenyataan adalah idea abstrak atau roh, dan bukan pengalaman manusia individual. Dalam sistem abstrak itu bahkan kesadaran manusia konkret hanyalah sebuah momen dalam dealetika roh. Bukan manusia yang sadar diri, melainkan roh menyadari dirinya dalam manusia konkret itu. Dalam arti ini, manusia konkret hanyalah alat bagi roh itu. Oleh karena itu juga, Hegel memandang tinggi idea-idea yang semakin bersifat kolektif, sebab semakin objektif sebuah idea semakin benar dan semakin real-lah idea itu. Yang makin benar adalah kita, ras, zaman kita dan abad kita bukan aku atau pikiran ku. Sedangkan menurut filsuf eksistensialisme Soren Aabye Kierkegaard keberatan dengan sistem Hegel itu, Ia menyatakan Hegel sudah mereduksi manusia menjadi kawanan yang anonim. Kemampuan subjektif manusia untuk mengambil keputusan yang sangat pribadi dan berkomitmen dianggap tidak autentik dalam sistem itu, sebab yang real itu, bukan individu melainkan roh yang menjadi semakin sadar diri melalui individu itu. Dan menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual.
Kedua, pandangan aliran materialisme, aliran ini mendefenisikan eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu. Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia itu pada akhirnya adalah sepertinya halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti batu dan kayu. Akan tetapi materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir, manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi, pohon, dan batu. Dilihat dari segi keberadaannya juga sama. Nah, di sinilah bagian ajaran materialisme itu dihantam oleh eksistensialisme. Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini ? artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya itu disebut objek. Dari kedua pandangan di atas, hal itulah yang merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme.
Dari kedua pandangan di atas menurut analisis pemakalah ialah pertama, idealisme Hegel pada intinya mengatakan bahwa yang konkret itu ialah ide, sedangkan benda yang tampak dalam hal ini manusia ialah penjelmaan dari idea itu sendiri, bukan yang konkret. Dan “aku umum” yang di ungkapkan oleh Hegel ialah apa yang menurut khalayak benar maka benarlah sesuatu itu dalam arti kata berdasarkan sesuatu yang umum yang dalam hal ini bersifat kolektif. Sedangkan menurut eksistensialisme keberadaan manusia itulah yang konkret dan idea yang dikatakan Hegel merupakan hal yang tidak logis, nyata dan ilmiah. Serta jika berdasarkan aku umum maka ada salah satu individu yang tidak bebas dalam menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu, agar individu ini bebas maka aku individulah (self individual)yang menetapkan segala sesuatu bukan berdasarkan keumuman.Kedua, pandangan materialisme yang menyatakan bahwa manusia itu materi, eksistensinya sama dengan materi, maka hal ini di tantang oleh eksistensialisme, menurut eksistensialisme eksistensi manusia itu tidak sama  dengan materi, salah satu cermin dari eksistensi manusia ialah ia mampu mengolah materi dan materi merupakan penunjang dari eksistensi manusia.
Dengan demikian, eksistensialisme pada hakekatnya adalah aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Aliran eksistensialisme sebagai suatu penolakan terhadap suatu pemikiran yang abstrak. Yang menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya ialah kebebasan untuk freedom to do.
Pada fase awal, Danish soren Kierkegaard (1813-1855) yang disebut sebagai tokoh pembuka tabir gerakan eksistensialisme. Ia masih mewarnai corak pemikirannya denga teologi. Nuasa teologis ini tampak ketika ia mengatakan bahwa setiap pribadi membawa kepenuhan eksistensi manusiawinya sendiri. Kepenuhan eksistensi ini terwujud paa keputusan bebas manusia. Disinilah letak kebebasan manusia. Di dalam kebebasannya kebebasannya, manusia memiliki kemerdekaan dalam menetukan ke mana dirinya akan melangkah dan melalui iman yang dimiliki manusia dapat memantapkan dirinya dalam hadirat Tuhan. Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Pernyataan ini kemudian dikembangkan, bahwa eksistensi manusia itu bukanlah statis tapi senantiasa menjadi. Artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Bagi Kierkegaard bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menetukan bagi hidupnya, dan tetap bertanggung jawab atas hidupnya dan keputusan-keputusannya tersebut.   Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Dari hal ini, pemakalah menganalisis bahwa manusia harus bergerak menurut kebebasannya; apa yang menurutnya dapat menimbulkan kemerdekaan bagi dirinya maka itulah yang harus dijalankannya dengan tidak melihat hal-hal yang dapat membuatnya terkekang dalam melaksanakan perbuatan (norma-norma umum), dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Jika manusia melaksanakan sesuatu akan tetapi ia terkekang dengan perbuatan itu maka itu belum dapat dikatakan manusia itu bereksistensi, karena belum menurut kebebasannya. Dan iman yang dimiliki manusia akan senantiasa menghadirkannya pada kehadirat Tuhan.
Namun, ketika pada periode selanjutnya, muncul tokoh yang bernama Jean Paul Sartre (1905-1981) dan Neitzhche (1844-1900), aliran eksistensialisme ini tampaknya berkembang menjadi radikal dan ekstrim. Di bawah ini pemakalah memaparkan kedua pemikiran filsuf eksistensialisme tersebut:   
Pertama, Sartre dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan. Manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya, lebih lanjut Sartre mengatakan manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kebebasan pada manusia tidak dapat dikurangi atau ditiadakan karena realitas manusia pada dasarnya adalah bebas sepenuhnya.
Kedua, Neitzhche. Pandangan ekstrem dari Neitzsche ini berawal dari keyakinannya bahwa Tuhan telah mati, dengan kematian Tuhan terbukalah horizon seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tak ada lagi larangan dan perintah. Neitzsche menyambut datangnya zaman itu sebagai zaman kretivitas dan kemerdekaan, setiap orang harus setia kepada dunia ini, dan tidak usah percaya akan adanya harapan-harapan di dunia seberang sana. Atas keyakinan ini pula Neitzsche menganggap remeh dan benci pada sekelompok manusia yang berperan hanya ikut arus dan hanya mengikuti pola-pola umum yang mengatur perilaku mereka. Selanjutnya Neitzsche menjelaskan bahwa kemampuan manusia itu tidak mendapat bantuan dari siapapun, tidak juga dari kekuatan yang disebut Tuhan. Bahkan menurut Neitzsche dorongan nafsu bagi manusia sangat penting, ia mengatakan biarkan nafsu seseorang itu berkembang leluasa. Antara nafsu dan kehidupan rohani berdampingan tetapi saling bertentangan. Dorongan nafsu itu berada di lapisan bawah sementara kehidupan rohani berada di lapisan atas. Kehidupan rohani dapat mengarahkan lapisan bawah. Pencerminan lapisan atas itu nampak dalam ajaran agama, norma dan moral. Penampilan lapisan bawah dapat tenggelam dalam penampilan lapisan atas tetapi Neitzsche mengatakan justru pengungkapan nafsu itu tidak lagi sempurna. Ia menambahkan biarkan lapisan bawah itu berkembang sempurna.
Dalam kaitan dengan konsep nafsu di atas, Neitzche memberikan konsep moralitas. Orang yang sistem pikiran terkendali, tertindas, ketakutan akan perubahan, pasif menerima otoritas dan tradisi merupakan orang yang bermoralitas budak. Moralitas yang dibenci filsuf ini adalah moralitas yang mengatur manusia dalam kriteria baik dan buruk.  Menurut Neitzsche pribadi yang ideal adalah orang yang bermoralitas tuan. Individu ini nampak memiliki pemahaman diri dari dalam. Dunia ini tidak akan berarti jika di huni manusia yang bermoral budak. Dan Neitzsche mengatakan bahwa umat manusia sudah menderita mental budak ini. Ajaran agama, moral, norma tentang kerendahhatian, belaskasih, kesalehan, rela menderita dan sebagainya sudah memasuki masyarakat bagi Neitzsche itu adalah ajaran yang menyebabkan seseorang itu bersikap pengecut dan memuakkan karena berlawanan dengan keunggulan manusia. Seseorang itu hendaknya hidup berdasarkan nilai-nilai yang muncul dari dirinya sendiri. Dengan demikian ia menjadi tuan atas ciptaannya sendiri.
 Dari untaian tentang pemikiran Sartre dan Neitzsche di atas analisis pemakalah ialah pemikiran Sartre dan Neitzsche menafikan keagamaan, hal ini menunjukkan bahwa mereka merupakan filsuf yang atheis dan kebebasan menurut mereka ialah hal yang segala-galanya, sebab dengan kebebasan manusia mampu berkreatifitas bahkan jika dilakukan pengekangan terhadap nafsu maka itu akan membuat individu itu tidak bebas dan menyiksa dirinya sendiri, dan setiap nilai yang dipilih tergantung pada arah nafsu hidup tadi. Dan dari uraian tentang pemikiran Neitzsche di atas dapat diungkapkan bahwa suatu keyakinan bukan tergantung pada benar atau salahnya tetapi lebih disebabkan apakah mengakui kehidupan atau tidak, artinya keyakinan itu berarti jika mampu memberikan perasaan-perasaan kekuatan, daya dan kebebasan bagi setiap orang.

PRINSIP-PRINSIP EKSISTENSIALISME
Ada beberapa prinsip dari aliran eksistensialisme, yakni sebagai berikut:
A.      Aliran ini tidak mementingkan metafisika (Tuhan). Aliran ini memandang bahwa manusia tidak diarahkan. Manusia yang menciptakan kehidupannya sendiri dan oleh sebab itu manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan yang dibuat. Aliran ini memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan dan penanggung jawabannya.
B.      Pengetahuan lebih merupakan suatu keadaan dan kecenderungan seseorang. Karena manusia tidak tunduk terhadap apa yang ada di luar dirinya, maka nilai-nilai tidak dicari dari luar diri melainkan dicari dalam diri manusia itu sendiri. Hal ini disebabkan karena nilai itu hidup dalam dirinya. Oleh karena itu, apa yang disebut baik atau buruk tergantung atas keyakinan pribadinya.
C.      Aliran ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya dan individu hanya mengenal dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dengan kehidupan.
Menurut analisis pemakalah prinsip-prinsip aliran eksistensialisme ini adalah mengutamakan kebebasan dan tidak mengikuti norma-norma yang dapat mengekang kebebasan, norma-norma yang dijadikan patokan dalam alliran ini ialah kehendak diri itu sendiri yang dapat memberikan kebebasan dalam perbuatan. serta bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilaksanakan.

·         Eksistensialisme dalam Pendidikan
ü  Tujuan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua  potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
ü  Kurikulum
Pelajaran sekolah hanyalah alat untuk realisasi subjektivitas. Tahap pembelajaran penting yang tidak ditemukan dalam struktur pengetahuan atau dalam organisasi disiplin belajar, melainkan di apropriasi siswa dari kesediaan subjek-nya untuk memilih dan memberi makna pada subjek tersebut. Dalam situasi “eksistensialis” kurikulum, siswa adalah aktor yang memberi makna pada subjek yang ia merampas, karena ia menggabungkan ke dalam keberadaan sendiri dan menafsirkannya sesuai dengan proyek sendiri. Seperti Morris mengatakan, “Apapun pengalaman di sekolah yang paling mungkin untuk membangkitkan cara pribadi individu dalam memandang hidup akan diangkat ke posisi pertama dalam segala sesuatu yang suatu hari nanti bisa disebut sekolah eksistensialis.
Kurikulum, sebenarnya script yang siswa gunakan sebagai kendaraan interpretasi, mengandung baik kognitif dan elemen normatif. Tubuh faktual, deskriptif, dan pengetahuan ilmiah dari dimensi  kognitif merupakan kodrat dari urutan fenomenologis. Normatif atau dimensi sikap terdiri dari daerah-daerah kurikuler yang terutama etis. Studi humanistik seperti sejarah, seni, sastra, filsafat, dan agama merupakan sumber sangat kaya nilai-nilai etika.
Seni, kajian yang dirancang untuk menumbuhkan pengalaman estetis, termasuk bentuk-bentuk seperti musik, drama, tari, menulis kreatif, lukisan, dan film. Tujuan pendidikan estetika, menurut eksistensialis tersebut, bukan untuk meniru gaya artis model yang dipilih, meskipun ini mungkin dipelajari, melainkan untuk merangsang ekspresi estetika. Dalam dimensi estetika pendidikan, peran guru adalah untuk membangkitkan dan merangsang rasa pelajar dan keinginan untuk ekspresi estetika. Meskipun tidak mengetahui apa yang pelajar akan ciptakan, guru menyediakan berbagai media kreatif sehingga pelajar akan memiliki bahan baku untuk membuat objek seni sendiri. Pelajar menggunakan berbagai media untuk menggambarkan dunia saat ia memandangnya dalam kesadaran sendiri dan menghasilkan karya seni yang berasal dari pusat pengalaman pribadinya.
Sastra dan humaniora akan menempati area utama dalam kurikulum eksistensialis. Sastra berguna dan relevan untuk membangkitkan pelajar pentingnya pembuatan pilihan, melainkan mengungkapkan berbagai strategi untuk membuat pilihan yang telah digunakan dalam literatur untuk menggambarkan keprihatinan dasar manusia. Dengan menggunakan literatur, drama, dan film, pelajar menempatkan kapasitasnya merasa di pembuangan penulis. Keterlibatan perwakilan para pelajar dalam pertanyaan-pertanyaan dasar manusia cinta, kematian, penderitaan, rasa bersalah, dan kebebasan merupakan sarana yang sangat baik untuk menggambarkan kondisi manusia dan untuk menemukan makna pribadi dalam dunia tampaknya acuh tak acuh.
Seperti sastra dan humaniora lainnya, sejarah adalah kendaraan kuat untuk meneliti bagaimana pria di masa lalu telah menghadapi dan menjawab keprihatinan manusia yang berulang. Studi sejarah, seperti yang dilihat oleh eksistensialis, adalah tidak begitu banyak masalah membangun hubungan sebab-akibat atau memeriksa asal-usul dan perkembangan peradaban tertentu. Memang, tidak ada generalisasi universal atau abadi dapat disimpulkan dari penelitian sejarah. Penggunaan sejarah adalah di masa lalu menerangi manusia dan dalam menghadirkan pria kontemporer dengan hipotesis alternatif tentang bagaimana kehidupan bisa hidup di masa sekarang.
ü  Peran Pendidik
Meskipun pendidik eksistensialis dapat memilih untuk menggunakan berbagai metode pendidikan. Dialog Sokrates merupakan metode yang tepat bagi mereka yang mengikuti perspektif eksistensialis dalam pendidikan. Dialog mempertanyakan siswa sehingga ia menjadi sadar akan kondisi hidupnya. Memang, jenis terbaik dari pertanyaan akan bisa dijawab hanya dalam subjektivitas siswa sendiri.
Dalam metodologi eksistensialis, guru merangsang “intensitas kesadaran” si pelajar dengan mendorong pencarian kebenaran pribadi dengan mengajukan pertanyaan makna kekhawatiran hidup. Ini adalah tugas guru untuk memberikan iklim dan situasi untuk ekspresi subjektivitas siswa. Hanya pelajar yang bisa berhadapan dengan tanggung jawabnya untuk definisi -diri. Penciptaan “intensitas kesadaran” adalah tanggung jawab sendiri peserta didik juga guru. Seperti kesadaran melibatkan rasa yang secara pribadi terlibat dalam dimensi etis dan estetis dari eksistensi.
Menurut pemikiran eksistensialisme peranan pendidik sebagai pembimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif melalui pertanyaan-pertanyaan. Pendidik hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran yang diajarkan. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi pendidik tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan pendidik membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Ø  Secara spesifik berikut ini akan digambarkan peranan pendidik:
1.       Menemukan pembawaan pada anak didiknya dengan jalan observasi, wawancara, pergaulan, angket dan sebagainya.
2.       Berupaya menolong anak didik dalam perkembangannya. Agar pembawaan buruk tidak dapat berkembang dengan subur mendekati kemungkinannya.
3.       Menyajikan dan mencarikan jalan yang terbaik dan menunjukkan perkembangan yang tepat.
4.       Setiap waktu mengadakan evaluasi untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik dalam usaha mencapai pendidikan sudah berjalan seperti yang diharapkan.
5.       Memberikan bimbingan dan penyuluhan pada anak didik pada waktu mereka menghadapi kesulitan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak didik dan tujuan yang dicapai.
6.       Dalam menjalankan tugasnya, pendidik wajib selalu ingat bahwa anak sendirilah yang berkembang berdasarkan bakat yang ada padanya.
7.       Pendidik senantiasa mengadakan penilaian atas diri sendiri untuk mengetahui apakah hal-hal yang tertentu dalam diri pribadinya yang harus mendapatkan perbaikan.
8.       Pendidik perlu memilih metode atau teknik penyajian yang tidak saja disesuaikan dengan bahan atau isi pendidikan yang akan disampaikan namun disesuaikan dengan kondisi anak didiknya.


·         Kelebihan dan Kekurangan Eksistensialisme
Kelebihan:
1.      Mengerti akan semua realitas.
2.      Mengetahui pengetahuan tentang manusia.
Kekurangan :
1.      Mengabaikan Perintah Tuhan.
2.      Menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia.


v  ALIRAN PROGRESIVISME
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus berpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan mengancam adanya manusia itu sendiri ( Barnadib, 1994:28 ). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi, dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal;menyala. Tidak pernah sampai pada yang paling eksterm, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresivisme merupkan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya.
·         Tokoh-tokoh Aliran Progresivisme
ü  William James ( 1842-1910 )
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau fikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi teologis, dan menempatkannya da atas dasar ilmu prilaku.
ü  John Dewey ( 1859-1952 )
Teori Dewey tentang sekolah adalah progresivisme yang lebih menekankan kepada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Cild Centered Curiculum”, dan “Cild Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas.
ü  Hans Vaihinger ( 1852-1933 )
Hans Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan objeknya mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian didunia.
·         Ciri-ciri Utama Progresivisme
a)      Pendidikan dianggap mampu merubah dalam arti membina kebudayaan baru yang dapat menyelamatkan manusia bagi masa depan.
b)      Percaya bahwa manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dengan skill dan kekuatan mandiri.
c)       Progress yang menjadi inti perhatiannya, maka ilmu pengetahuan yang dapat menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan, yaitu ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
d)      Progresivisme adalah satu filsafat transisi antara dua konfigurasi kebudayaan yang besar. Progresivisme adalah rasionalisasi mayor daripada suatu kebudayaan yakni (1) perubahan yang cepat dari pola-pola kebudayaan Barat yang diwarisi dan dicapai dari masa ke masa, (2) perubahan yang cepat menuju pola-pola kebudayaan baru yang sedang dalam proses pembinaan untuk masa depan.
e)      Progresivisme sebagai ajaran filsafat merupakan watak yang dapat digolongkan ke (1) negative and diagnostic yakni bersikap anti terhadap otoritarialisme dan absolutisme dalam segala bentuk, seperti agama, moral, sosial, politik dan ilmu pengetahuan, (2) positive and remedial yakni suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subyek yang memiliki potensi alamiah, terutama kekuatan-kekuatan self-regenarative (diperbaharui sendiri) untuk menghadapi dan mengatasi semua problem hidup.

·         PANDANGAN PROGRESIVISME TENTANG PENDIDIKAN
Progresivisme dalam pendidikan adalan bagian dari gerakan revormasi umum social-politik yang menandai kehidupan Amerika. Progresivisme sebagai sebuah teori muncul sebagai bentuk reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran, belajar mental (kejiwaan), dan suasana klasik peradaban barat. Pada dasarnya teori ini menekankan beberapa prinsip. Adapun prinsipnya yaitu:
§  Proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak.
§  Subjek didik adalah aktif, bukan pasif.
§  Perfan guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing, ataupengarah.
§  Sekolah adalah masyarakat kecil dari masyarakat besar.
§  Sekolah harus kooperatif dan demokratif
§  Aktivitas lebih focus pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaran materi kajian.

·         Pandangan Progresivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya. Tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu aliran filsafat progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum. Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.
Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik mauopun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.
·         Aliran Pendidikan Progresivisme
ajarannya tentang kebebasan politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada didalam manusia karena kodrat yang baik dari para manusia. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan bergerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada hentinya.
Dalam abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada Progresivisme karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berfikir “pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu bekerja yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya”.
Fungsi berfikir adalah membiasakan manusia untuk berbuat . perasaan dan gerak jasmaniah adalah manifestasi dari aktifitas manusia dan keduanya itu tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berfikir.[8]

Bagaimana Keyakinan Aliran Progresivisme Tentang Pendidikan?
Dasar filosofis dari aliran progresivisme adalah Realisme Spiritualistik dan Humanisme Baru. Realisme spiritualistik berkeyakinan bahwa gerakan pendidikan progresif bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel dan Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak. Sedangkan Humanisme Baru menekankan pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai individu. Dengan demikian orientasinya individualistik.

Ø  Tujuan Pendidikan
Tujuan keseluruhan pendidikan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak.[10] Agar dapat bekerja siswa diharapkan memiliki keterampilan, alat dan pengalaman sosial, dan memiliki pengalaman problem solving.


Ø  Kurikulum Pendidikan
Kalangan progresif menempatkan subjek didik pada titik sumbu sekolah (child-centered). Mereka lalu berupaya mengembangkan kurikulum dan metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif subjek didik. Jadi, ketertarikan anak adalah titik tolak bagi pengalaman belajar. Imam Barnadib menyatakan bahwa kurikulum progresivisme adalah kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi, sehingga yang cocok adalah kurikulum yang “berpusat pada pengalaman” Sains sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam pengalaman-pengalaman siswa, dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan proyek. Disini guru menggunakan ketertarikan alamiah anak untuk membantunya belajar berbagai keterampilan yang akan mendukung anak menemukan kebutuhan dan keinginan terbarunya. Akhirnya, ini akan membantu anak (subjek didik) mengembangkan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah dan membangun ‘gudang’ kognitif informasi yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sosial.

Ø  Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme diantaranya adalah;
a)      Metode Pendidikan Aktif, Pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya;
b)      Metode Memonitor Kegiatan Belajar, Mengikuti proses kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-bantuan apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar berlangsung kegiatan belajar tersebut;
c)       Metode Penelitian Ilmiah, Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep;
d)      Pemerintahan Pelajar, Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelejar dalam kehidupan sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah;
e)      Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga, Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi anak untuk mengekspresikan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang diperlukan anak;
f)       Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan, Sekolah tidak hanya tempat untuk belajar, tetapi berperanan pula sebagai laboratoriun dan pengembangan gagasan baru pendidikan.

Ø  Pelajar
Kaum progresif menganggap subjek-subjek didik adalah aktif, bukan pasif, sekolah adalah dunia kecil (miniatur) masyarakat besar, aktifitas ruang kelas difokuskan pada praktik pemecahan masalah, serta atmosfer sekolah diarahkan pada situasi yang kooperatif dan demokratis. Mereka menganut prinsip pendidikan perpusat pada anak (child-centered). Mereka menganggap bahwa anak itu unik. Anak adalah anak yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak mempunyai alur pemikiran sendiri, mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan-harapan dan kecemasan sendiri yang berbeda dengan orang dewasa.[15]

Ø  Pengajar
Guru dalam melakukan tugasnya mempunyai peranan sebagai;
a)      Fasilitator, orang yang menyediakan diri untuk memberikna jalan kelancaran proses belajar sendiri siswa;
b)      Motivator, orang yang mampu membangkitkan minat siswa untuk terus giat belajar sendiri;
c)       Konselor, orang yang membantu siswa menemukan dan mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap siswa. Dengan demikian guru perlu mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik siswa, dan teknik-teknik memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan pada anak agar dapat menjalankan peranannya dengan baik.


Progresivisme pengikut Dewey (Sadulloh.2003), mendasarkan pada asumsi berikut:
1.       Minat-minat peserta didik sebagai dasar menentukan muatan kurikulum, bukan disiplin ilmu atau akademik.
2.       Pengajaran efektif adalah apabila memperlukan peserta didik sebagai keseluruhan dan minat-minat serta kebutuhan-kebutuhannya dihubungkan dengan bidang kognitif, efektif, dan psikomotor.
3.       Pembelajaran harus aktif, guru menyediakan kemungkinan agar peserta didik memiliki pengalaman melalui belajar dengan berbuat/melakukan.
4.       Pendidikan bertujuan untuk membina peserta didik berpikir rasional sehingga menjadi manusia yang cerdas yang berkontribusi pada masyarakat.
5.       Peserta didik mempelajari nilai-nilai personal dan sosial di sekolah.
6.       Individu berada pada suatu keadaan yang selalu berubah secara terus menerus, dan pendidikan merupakan wahana yang mungkin masa depan yang lebih baik dari pada masa sebelumnya.

·         Kelebihan filsafat progresivisme
1.       Nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan.
2.       Toleran dan terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif, inovatif dan reformatif, aktif serta dinamis.
3.       Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya
4.       Menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru
·         Kelemahan filsafat progresivisme
1.       Progresivisme terlampau menekankan pada pendidikan individu
2.       Kelas sekolah progresif artifisial / dibuat-buat dan tidak wajar
3.       Progresivisme bergantung pada minat dan spontan
4.       Siswa merencanakan sesuatu sendiri dan mereka tidak bertanggung jawab terhadap hasil dari tugas-tugas yang dikerjakan


DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1997
M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta : Rineka Cipta. 1990, cet. ke-1.
TIM Pengajar UNIMED, Filsafat Pendidikan,2011.
Iman, Muis Sad, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme Jon

Dewey, Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004

http://www.geocities.com/athens/parthenon/4926/rencana/tunjang.htm
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/jurnal3.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar